PENDAHULUAN
ASAL-USUL ISLAM YANG TERSELUBUNG
Karl-Heinz Ohlig
Buku yang berisi kumpulan esai
ini berupaya untuk membawa secercah
cahaya ke dalam asal-usul yang terselubung dari sebuah agama besar dunia, yakni
Islam. Tujuan buku ini, sebagaimana sebutan saya, yaitu asal-usul Islam yang
“terselubung”, mungkin mengejutkan banyak orang, sebab bagi kaum awam hanya
sedikit agama yang asal-usul dan perkembangannya yang terkemudian yang sejelas
Islam.
Di awal abad ke tujuh, Nabi
Muhammad (570-632 M) muncul; ia memproklamasikan wahyu-wahyu dari Allah di
Mekkah dan Madinah dan akhirnya menyatukan semua suku-suku di Semenanjung Arab
ke dalam satu umma di bawah
kepemimpinan relijius dan politiknya. Kehidupan sang nabi, pertumbuhan dan
pernikahannya, karyanya, hijrah dari Mekkah ke Madinah di tahun 622 M, dan
serangkaian peperangannya dikisahkan dengan rinci dalam publikasi muslim dan
begitu pula dalam disiplin akademik dalam kajian-kajian Islam.
Setelah kematiannya, kisah itu
berlanjut dengan keberhasilan dalam perang dan agamanya. Periode awal ini
melahirkan kekaisaran Islam yang besar, dimulai dengan empat kalifah “yang
dibimbing dengan benar” (632-661), dilanjutkan dibawah kalifah Ummayah, dengan
ibukota mereka di Damaskus (661-750), dan mencapai puncaknya di bawah dinasti
Abbasiyah (mulai tahun 749), yang mengendalikan kekuasaan mereka di Baghdad di
tahun 762. Kalau begitu mengapa asal-usulnya disebut “terselubung”?
Sudah diketahui secara luas bahwa
hanya sedikit sekali informasi yang dapat ditemukan di dalam Quran yang
menawarkan materi biografis tentang nabi dari Mekkah ini, namun konsekwensi
dari fakta ini dipaparkan hanya oleh
sedikit saja sarjana Islam. Semua “informasi” biografis yang kita miliki dapat
ditemukan dari dua jenis sumber.
Yang
pertama terdiri dari karya-karya diawal abad 9 dan 10 (tahun 800-900an). Sumber
ini meliputi:
1) “Sira”karya Ibn Hisham
(w. 834), yang mengklaim bahwa karyanya
terhubung dengann teks-teks karya Ibn Ishaq (w. 768) yang sudah tidak ada lagi.
2) sebuah kisah sejarah pertempuran karya al-Waqidi (w. 822);
3) sebuah buku yang dalam edisi bahasa Inggrisnya disebut “Classes”
atau “Generations” karya Ibn Sad (w. 845); dan
4) sebuah buku yang disebut “Catatan Sejarah / Annals” karya
al-Tabari (w. 922).
Sumber jenis kedua terdiri dari enam koleksi kanonikal hadis, yang
berasal dari abad ke 9 (tahun 800an); kumpulan-kumpulan ini disadur oleh para redaktur
sbb.
1) al-Bukhari (w. 870);
2) Muslim (w. 875);
3) Abu Dawud (w. 888);
4) al-Tirmidhi (w. 892);
5) al-Nasa'i (w. 915); dan
6) Ibn Maja (w. 886).
Riset kritik historis atas kanon di atas melaporkan bahwa
karya-karya ini ditulis sekitar 200 tahun setelah kejadian, dan harus
diperlakukan dengan penuh kehati-hatian. [1] Hadis-hadis ini
dikumpulkan pada saat Muhammad telah menjadi paradigma identifikasi kekaisaran
yang berkuasa. Tentu saja laporan-laporan tentangnya telah dihias disana-sini.
Ciri khas legenda telah memaksa para pembaca kepada teks-teks tanpa rasa
kritis; beberapa persoalan dimunculkan dengan cara tematis, tanpa mempedulikan
fakta bahwa persoalan-persoalan itu bisa saja tidak pernah muncul di saat
kehidupan sang nabi yang sebenar-benarnya. [2]
Namun demikian
sumber-sumber (yang begitu terlambat) ini dijadikan yang utama dalam
menggambarkan kehidupan Muhammad dan menelusuri Qur’an sampai ke proklamasinya
di Mekkah dan Madinah, sehingga gambaran sang nabi Arab dan kehidupannya secara
historis tetap kabur. Untuk lebih jelas lagi, masalah dalam sumber-sumber ini
justru melahirkan banyak keraguan bagi keseluruhan persoalan historitas
Muhammad. “Muhammad bukanlah sesosok figur nyata dalam sejarah, dan biografinya
adalah sebentuk produk jaman dimana ia dituliskan.” [3] Dalam pemahaman yang
sama, baru di abad sembilanlah pertama kali diklaim bahwa proklamasi Muhammad
dimasukan ke dalam arus ini, sebuah teks qur’an lengkap oleh tiga orang Mekkah
di bawah kepemimpinan Zayd bin Thabit dari Madinah. Karya editan ini dianggap
teah terjadi di bawah kepemimpinan kalifah Usman (644-656), khususnya antara
tahun 650 dan 656 – yakni delapan belas sampai dua puluh empat tahun setelah
kematian Muhammad.
Rudi Paret menuliskan
kalimat berikut ini dalam pendahuluan karya terjemahan Qur’an-nya, dan dalam
melakukannya ia mengekspresikan suatu consensus yang disepakati bersama
diantara para ulama Islam: “Kita tidak memiliki alasan untuk menerima idea
bahwa tidak satupun ayat dari keseluruhan Qur’an yang tidak berakar dari
Muhammad.” [4] Tapi mengapa? Bagaimana ia tahu jika pernyataannya itu benar?
Dari sumber-sumber apa ia membangun argumennya itu? Klaim semacam itu
mencerminkan banyak hal, termasuk: ketegangan-ketegangan dalam Qur’an; tradisi-tradisi
yang berbeda satu sama lain, dan kadang-kadang saling berkontradiksi,
usaha-usaha editorial redaksional yang nyata; terlambatnya kemunculan Qur’an
sebagaimana yang kita tahu (sebagaimana yang diindikasikan oleh fragmen-fragmen
manuskrip awal); dan tanggal yang sangat terlambat yang dianggap berasal dari Sang
Nabi Arab.[5] Bagaimana Paret dan yang lainnya mengabaikan persoalan-persoalan
kritik sastrawi benar-benar sangat mengejutkan.
Sastra
Islam di abad 9 juga berkontribusi pada arus narasi dalam sejarah penyebaran
Islam berikutnya, sekalipun hanya sedikit sekali “saksi-saki” dari dua abad
pertama Muslim yang masih ada. Paret mengakui bahwa hanya ada sedikit
saksi-saksi dan, selama abad pertama Hijrah, hanya sedikit sekali prasasti,
seperti misalnya prasasti di Kubah Batu di Yerusalem, dan di Mesjid Ummayah di
Damaskus, dan di tulisan pada uang-uang logam. Lebih jauh lagi ia mengakui
bahwa semua teks-teks Islam yang terkemudian “berada di bawah proyeksi
mencurigakan.” [6] Tentu saja ia sama sekali menolak untuk menghadirkan apa yang ada
di abad pertama, malahan ia hanya memulai dengan apa yang tersedia di abad
kedua , sekalipun ia juga menyatakan bahwa problem yang sama terjadi di abad
kedua ini, dimana hampir tidak ada sama sekali teks-teks asli yang bisa
ditemukan. [7] Dengan kata lain, dua abad “Islam” pertama berada dalam bayang-bayang
kekaburan sejarah, dan tetap tidak bisa dijelaskan bagaimana sebuah kekaisaran
Islam yang luas itu tidak meninggalkan saksi apapun, bahkan di antara
kelompok-kelompok yang kita harapkan bisa ditelusuri, misalnya musuh-musuh
bangsa Arab Penakluk yang bangsa Byzantium kenali dari kemampuan sastra dan
hasil budayanya, dan kaum Yahudi dan Kristen yang tinggal dibawah otoritas yang
diduga sebagai otoritas Islam.
Dengan bantuan dari
beberapa saksi yang masih ada yang bisa diketahui tanggal dan tempat
kejadiannya, yakni uang-uang logam dan prasasti, para kontributor dalam volume
ini melakukan usaha untuk menjelaskan secara lengkap bentuk perkembangan di dua
abad pertama “Islam” ini. Di sini akan dibuktikan bahwa penemuan numismatic
(uang-uang logam / koin) dari periode ini, dan begitu pula prasasti di Kubah
Batu, sebenarnya berhubungan dengan teks-teks dan symbol-simbol Kristen, yang
mendokumentasikan idea-idea teologis Arab-Syria: bahwa Allah adalah satu dan
esa, dan bahwa ia yang Allah kirim (yakni Yesus) adalah yang terpuji (muhammad). Pernyataan-pernyataan semacam
itu ditujukan untuk membuat garis demarkasi paham mereka dengan teks-teks
Kristen Byzantium yang mengkonsepsikan Trinitas dan Kristologi. Mereka
mendokumentasikan usaha yang membanggakan dari suatu bentuk Kekristenan Arab
dan pihak kekaisaran Arab membentuknya untuk menciptakan dan mempertahankan
identitas mereka. Sebagai tambahan, akan menjadi jelas bahwa jauh sebelum
kemunculan idea tentang tahun Hijriah, ada sebuah komunitas Arab-Kristen yang
menghitung sistem penanggalan mereka yang dimulai di tahun 622 M, dan yang
nantinya “diubah” menjadi tahun Hijriah dalam idea Muslim. Sampai kira-kira akhir abad delapan,
tampaknya, para pemimpin suku Arab-Kristen memerintah wilayah dari Timur Dekat
dan Afrika Timur – pada kenyataannya, para pemimpin Ummayah dan bahkan Abbasiah
awal adalah pemeluk sebentuk ajaran Kekristenan bercorak Arab.
Barulah di abad kedua
“hijriah” bahwa idea tentang Muhamamad nampaknya mengalami pelonggaran dari
koneksi asalinya (yakni merujuk pada Yesus) dan berisolasi menjadi suatu konsep
pada dirinya sendiri. Lebih jauh lagi, proses pelepasan ini tampaknya telah
mengalami baik ekspansi idea-idea, untuk memasukan seorang nabi-rasul Kristen
(Syriak / monofisit? – pen.) bernama Muhammad, maupun suatu tahap intermediat
yang berfungsi sebagai suatu konsepsi penjembatanan, yakni pemujaan sesosok Ali
(yang berarti “Yang Dimuliakan”), yang
mengambil alih fungsi-fungsi normatif dalam suatu bentuk yang lebih kongkrit
untuk menggantikan posisi Muhammad (Yesus) yang lebih jauh dan transenden. Di
abad 8, dan lebih penuhnya di abad 9, perkembangan independensi idea Muhammad
ini memungkinkan untuk membentuk suatu idea seorang Nabi Arab dengan nama yang
sama, dan suatu idea yang telah ditransmisikan lewat sejarah pada tahap
tertentu, dan lewat proses ini didapatkan bentuk independensinya sendiri. Hal
ini juga mengikat idea Muhammad kepada tempat-tempat suci bangsa Arab yakni
Mekkah dan Madinah. Semua tahap ini tampaknya berfungsi untuk menciptakan
kepentingan akan penciptan suatu identitas ke-Arab-an bagi kekasiaran Abbasiah.
Pada saat itu, dan sesudahnya, karya-karya biografis dan koleksi Hadis dan
Sunnah mulai muncul. Semua tradisi yang tersedia yang berkenaan dengan para
pemimpin Arab dan kontroversinya di jaman-jaman sebelumnya sekarang dijalin ke
dalam suatu narasi sejarah yang berkelanjutan dari agama Islam dan perkembangan
kekaisarannya. Bentuk pemujaan pada Ali yang telah ada sekarang direpresi dan hanya
bertahan dalam tradisi kaum Syiah.
Dari perspektif
sejarah agama-agama, kita disini mengenali suatu proses yang mengagumkan akan
kemunculan suatu agama baru. Para individu yang terlibat dalam proses ini, sama
seperti para redaktur Lima Kitab Musa,
Pentateukh, yang memasukan paham keyakinan mereka sendiri ke dalam sebuah
“permulaan kanonikal”, dimana mereka menanamkan asal-usulnya (sesuai dengan
paham mereka –pen.) dan melegitimasinya. Interpretasi ini, yang digagas oleh
banyak kontributor, diantaranya yang paling kuat oleh Volker Popp, dan
diperdalam oleh Christoph Luxenberg (sekalipun awalnya sudah disarankan oleh
Yehuda D. Nuvo dan Judith Koren), bukan semata-mata opini subyektif; malahan
interpretasi ini didukung oleh sumber-sumber yang ada yang mampu
mengekspresikan dirinya sendiri dalam kerangka sejarah.
Namun, apakah tujuan
dari thesis ini dengan Qur’an, yang teks-teksnya [8] disokong -dengan
sedikit perkecualian- baru di awal abad delapan dan dalam manuskrip yang cacat[9], yang mana
“kanonisasi” Muslim sendiri tidaklah lengkap sampai kira-kira seratus tahun
kemudian? Kita harus selalu ingat bahwa Qur’an baru muncul di suatu waktu dan
tempat (yakni di Iraq) ketika wilayah yang melingkupinya secara keseluruhan
masih komunitas Kristen (dan Yahudi). Mungkinkah ia diciptakan sebagai dokumen
penyangga dari sebuah agama baru pada saat itu? Atau apakah ini baru menjadi ke
bentuk sekarang ini di kemudian hari?
Gunter Luling [10] baru-baru ini
berpendapat bahwa sebelum Muhamamad ada, ada sebentuk “Ur-Qur’an” yang
berisikan himne-himne dari lingkungan Kristen Arianisme. Himne-himne ini
kemudian diedit oleh Muhammad dan komunitas Muslim awal. Argumen hipotetis ini
telah didukung lewat karya Christoph Luxenberg, walaupun menggunakan metodologi
yang sama sekali berbeda di titik awalnya. [11] Luxenberg telah
memperlihatkan poin-poin berikut ini:
1)
bahwa Qur’an muncul di suatu kawasan dengan budaya bahasa
Arabik/Syro-Aramaik;
2)
bahwa melimpahnya bacaaan dalam Qur’an merepresentasikan kata-kata
dan kalimat berbahasa Syriak yang ditulis dalam aksara Arabik;
3)
bahwa struktur gramatikal dari Qur’an yang Arabik justru merusak
pengaruh Syriak secara keseluruhan; dan
4)
beberapa kata Arabik asli telah disalah-translasi lewat
perkembangan penulisan yang “lebih lengkap” , yakni, dengan menyertakan
penetapan konsonan lewat titik-titik diakritik; suatu proses yang terjadi 200
tahun kemudian. [12] pembacaan dan pemaknaan yang sama sekali baru dan berbeda dengan
yang aslinya seringkali muncul dari investigasi ini kedalam teks-teks Qur’anik,
yang menyingkapkan bacaan-bacaan yang merujuk pada sebuah latar belakang
Kekristenan.
Luxenberg juga menemukan bahwa Qur’an tidak hanya berakar dari
suatu wilayah dengan budaya bahasa Syro-Aramaik, tetapi juga, setidaknya dalam
bagian yang besar, didasari atas sumber-sumber teks-teks Syriak. Ia menunjukan
empat huruf yang entah hampir identik, atau benar-benar serupa dalam Syriak dan
aksara Arabik – dan dengan demikian memungkinkan untuk saling disalahbaca –
namun berfungsi sebagai indicator bagi konsonan-konsonan berbeda dari dua
bahasa tertulis itu. Ia berpendapat bahwa huruf-huruf ini terpelihara ketika
teks-teks Syriak asli ditransfer ke dalam aksara Arabik, yang maksudnya
huruf-huruf ini tidak dikonversikan ke dalam huruf Arabik yang setara
dengannya. Fenomena ini menunjukan pada penggunaan teks-teks orsinil yang
ditulis dalam bahasa Syriak. Jika ini benar, maka Qur’an pastilah memiliki
latar belakang pra-historis dalam Syro-Aramaik, suatu kemungkinan yang juga
disarankan oleh, contohnya, materi tentang Kisah Penghukuman. Apakah suku-suku
Arabia yang telah dikristenkan itu telah menyatukan sebuah leksioner atau
berbagai leksioner dalam bahasa Syriak, yang secara alami, melewati tahapan
jaman – bagi sebuah tujuan untuk meneguhkan Kitab Suci (Perjanjian Lama dan
Baru), yang nantinya diterjemahkan dalam bahasa Arabik? Dan apakah kata
“nantinya’ di sini berarti terjadi di jaman kalifah Ummayah ‘Abd al-Malik (w.
705) atau penggantinya al-Walid (w. 715), yang menetapkan bahasa Arabik sebagai
bahasa resmi kenegaraan?[13] Kapan teks-teks ini
disatukan, yang tentu saja tidak dapat ditelusuri dalam akar-akar Kekristenan,
ataukah hal itu menunjuk pada seorang nabi bangsa Arab? Ada sebuah komentar
terkenal dari abad 9 menyoal “pengenyahan semua manuskrip Qur’anik dibawah
perintah Usman kecuali teks-teks penuh dalam versinya sendiri. Mungkinkah
realiatasnya justru lebih merujuk pada pengenyahan teks-teks berbasis Syriak di awal
abad 8?
Ada perspektif yang
lebih lanjut, dari segi linguistic dan segi sejarah agama-agama, yang
harus dipertimbangkan dan diambil
sebagai kontribusi ke dalam buku ini. Kebanyakan dari artikel ini telah diketahui
sebelumnya oleh para editor (DR. Gerd R. Puin & DR. Karl Heinz Ohlig) dalam
bentuk proposal topik mereka, bukan dalam bentuk isinya. Namun, para penulis
dan pihak publikasi mereka mengijinkan kita untuk berharap bahwa banyak aspek
baru dari perihal ini akan diperkembangkan, aspek-aspek yang belum menerima
perhatian yang cukup dalam dunia akademis. Namun tentu saja
perspektif-perspektif ini; sebagaimana yang selalu terjadi; akan membutuhkan
simposium-simposium yang lama.
Akhirnya, para editor
memahami bahwa koleksi ini akan menjadi pelecut terhadap diskusi yang lebih
lanjut dan riset yang lebih dalam, bukan sebagai penggambaran dari suatu idea
yang telah lengkap. Namun diharapkan bahwa koleksi ini akan membuat jelas bahwa
asal-usul Islam hanya akan bisa dipahami atas dasar sumber-sumber historis,
bukan atas dasar interpretasi di jaman-jaman terkemudian, dan ketika
persoalan-persoalan historis dan filologis diselidiki atas dasar
sumber-sumbernya.
Mungkin akan sukar
bagi kajian-kajian Islam untuk mempertanyakan rubrik interpretasi mereka yang
proses pembuatannya merentang selama ratusan tahun. Apakah artikel-artikel
dalam buku ini akan diterima secara cepat tidak dapat ditentukan pada saat ini.
Namun dalam jangka waktu yang lama, kajian-kajian agama tidak akan mudah
menyepelekan tafsiran “fakta dari kasus,” yang berarti penembusan ke dalam
sumber-sumber historis dan filologis.
Catatan
Kaki:
1.
Cf. Yehuda D. Nevo and
Judith Koren, Crossroads to Islam: The Origins of the Arab Religion and the
Arab State (Amherst, NY: Prometheus Books, 2003), p.9: “Sumber-sumber sastrawi non-kontemporer (atau
tidak sejaman dengan kejadian yang diceritakan- Pen.), dalam pandangan kami,
adalah bukti historis yang tidak bisa diakui keandalannya. Jika kita tidak
memiliki sumber-sumber pengetahuan di abad 7M, kecuali teks-teks yang ditulis
diabad 9M atau lebih terkemudian lagi,
kita tidak dapat mengetahui apa-apa tentang abad 7M; kita hanya bisa tahu bahwa
orang-orang di abad 9 atau terkemudian percaya bahwa ini dan itu pernah terjadi
di abad tujuh.”
2.
Cf. the author's Weltreligion
Islam: Eine Einfiihrung (Mainz: Exodus, 2000), pp. 28-41."
3.
Nevo and Koren, Crossroads
to Islam, p. 11.
4.
Rudi Paret, Der Koran (Stuttgart:
Kohlhammer, 1979), p. 5.
5.
Ohlig, Weltreligion
Islam, pp. 42-92.
6.
Josef van Ess, Theologie
und Gesellschaft im 2. und 3. Jahrhundert Hid-schra: Eine Geschichte des
religiosen Denkens im frtthen Islam, vol. 1 (Berlin and New York: Walter de
Gruyter, 1991), p. viii.
7.
7. Ibid.
8.
Adalah suatu kecurigaan
akademis bahwa sampai saat ini, semua tafsir Qur’anik hanya didasarkan atas
Qur’an edisi Cairo tahun 1924, dan tidak pernah dilakukan usaha untuk
menghasilkan suatu edisi kritis bagi setidaknya sebagian besar Qur’an dengan
bantuan dari fragmen-fragmen Qur’an yang masih tersedia, sebagaimana selalu
dilakukan atas semua kajian-kajian kitab lainnya. Dua permintaan oleh Central
German Foundation for Research (the "Deutsche Forschungsgemeinschaft"
or "DFG") untuk mendukung suatu analisa tekstual kritis telah ditolak
oleh ahli-ahli dalam kajian Islam, sekalipun secara normal semua tafsir lebih
lanjut harus dimulai dengan suatu usaha untuk mendekati bentuk “asli” dari
suatu teks.
9.
Fragmen-fragmen tersebut, yakni fragmen mushaf Qur'an tertua, saat ini sudah tersedia dalam edisi faksimili-
masing-masing di Samarkand, Paris, St.
Petersburg, dan di London serta dalam fotografi dokumentasi manuskrip San'a 'di
University of Saarland. Naskah-naskah
ini dianggap “cacat” karena kekurangan tidak hanya tanda-tanda vokalisasi,
tetapi juga, dan hampir seluruh, titik diakritik. Meskipun aksara Arab
mengandung dua puluh delapan konsonan (ini juga berlaku untuk versi tertua dari
script Hijazi), hanya 7 dari 28 konsonan itu yang ditulis tegas, sedangkan
karakter lain dapat merujuk ke lebih dari satu konsonan – bahkan bisa
mengandung 2 sampai 5 perbedaan pembacaan. Akibatnya kata-kata tersebut
dibedakan dan melekat kuat pada berbagai konsonan melalui penggunaan titik
diakritik (1 sampai 3 titik di bawah atau di atas karakter). Lihat Weltreligion Islam, pp. 60—61 karya sang penulis.
10. Guinter Luiling, Uber den Ur-Quran: Anscitze zur Rekonstruktion
voris-lamischer christlicher Strophenlieder im Quran (Erlangen: Liiling,
1974 [1st ed.] and 1993 [2nd ed.]). This text has since appeared in an expanded
English version: A Challenge to Islam: For Reformation (Delhi, 2003).
11. Christoph Luxenberg, Die syro-aramaische Lesart des Koran: Ein
Beitrag zur Entstehung der Koransprache (Berlin: Das Arabische Buch, 2000
[1st ed.], 2004 [2nd ed.], and 2005 [3rd ed.]). An extended English version has
appeared in Berlin: Schiler 2007 with the title The Syro-Aramaic Reading of
the Koran. A Contribution to the Decoding of the Language of the Koran.
12. Penetapan banyak konsonan dalam Qur’an dengan cara memberikan poin
diakritik, serta penambahan poin vokalisasi, dicapai lewat sebuah proses
panjang yang belum juga selesai sampai abad kesembilan, atau bahkan mungkin lebih
kemudian lagi. Hal ini jelas bahwa fiksasi teks, yang juga terjadi di kemudian
hari, bertumpu pada interpretasi para individu-individu ulama, yang sering kali
salah. Ketika seseorang menempatkan titik diakritik di lokasi yang berbeda, hal
ini menghasilkan teks pembacaan yang kedengarannya masuk akal dan juga sesuai
dengan konteks mereka ( di atas semuanya in, bacalah Luxenberg, Die
syro-aramaische Lesarf).
13. Akan lebih menolong dalam pencarian jawaban atas persoalan ini
apabila Qur’an dapat dilacak penanggalannya dengan lebih tepat. Fragmen-fragmen
yang sampai saat ini telah dipublikasikan dalam bentuk edisi faksimili mungkin
berasal dari paruh kedua abad 8M; lebih jauh lagi ada alasan-alasan yang tepat
untuk mempercayai bahwa fragmen-fragmen San’a mungkin umurnya lebih muda dari
itu, seperti yang di awal dipercayai.